Tulisan ini di Copas dari Sopo Panisioan Tulisan Edward Simanungkalit
BATAK
TOBA (BUKAN) KANIBAL
Oleh:
Edward Simanungkalit
Cerita tentang
kanibalisme banyak ditulis para musafir yang datang ke Sumatera. Berbagai cerita
tentang kanibalisme di beberapa tempat dan salah satunya di wilayah Batak Toba.
Cerita tentang kanibalisme ini terasa dibesar-besarkan dengan memanfaatkan
peristiwa yang dialami oleh misionaris Munson dan Lyman. Seorang kenalan
pengusaha Tionghoa yang bertemu dengan penulis pada 11 Agustus 2010 di bandara
Polonia mempertanyakan peristiwa ini. Dia mengatakan yang dia ketahui bahwa
Munson dan Lyman adalah misionaris yang dibunuh dan dimakan di dekat kota
Tarutung. Seperti inilah gambaran yang diperoleh orang umumnya dan mengatakan
Batak itu kanibal.
Peristiwa kematian
misionaris Munson dan Lyman (1834) ini diperbesar-besar dan diprovokasi Belanda
sedemikian rupa untuk melegitimasi kedatangannya ke wilayah Batak Toba. Padahal
kita tahu bahwa banyak kekejaman dilakukan oleh Belanda selama
penjajahannya di Indonesia seperti pembataian massal yang
dilakukan terhadap orang Gayo, Alas, dan Batak di daerah Alas pada awal abad
ke-20. Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda terhadap puluhan ribu orang di
Makassar setelah Indonesia merdeka dan Westerling yang merupakan algojonya hidup
tenang tanpa terjamah oleh hukum sampai masa tuanya. Kedua peristiwa ini hanya
merupakan dua contoh saja yang diambil dari sekian banyak peristiwa lainnya
termasuk membakar hidup-hidup Kapitan Pattimura dan Walter Robert Monginsidi di
depan umum.
Orang Jerman pun
turut meniup-niupkan masalah kanibalisme termasuk J.T. Nommensen, anak dari I.L.
Nommensen, turut meniup-niupkannya dengan menulis kutipan dialog pendeta kulit
putih dengan seorang Batak Toba (Nommensen, 2003:249). Hal ini dapat dilihat
dalam buku “Ompu i Tuan Dr. I.L. Nommensen” yang ditulis oleh J.T. Nommensen,
anak dari misionaris I.L. Nommensen sebagai berikut: “Sekarang zaman telah
berubah pak guru, karena di pasar hanya dijual daging ayam dan daging babi,
kalau dahulu tidak jarang tangan dan kaki manusia dapat dibeli di
pasar.” (Nommensen, 2003:235). Gaya bahasa hiperbola seperti ini
sangat provokatif sekali diikuti dengan dilatarbelakangani perasaan superior. Di
mana Batak digambarkan sebagai bangsa yang tadinya tidak beradab sudah berobah
menjadi bangsa beradab.
Perubahan tersebut,
maksudnya, tentu tidak lepas dari peran orang Jerman yang paling beradab dan
berbudaya itu. Padahal, bagaimana kita dapat melupakan jutaan
orang Jahudi yang tewas di kamp-kamp konsentrasi. Belum lagi
mereka yang berseberangan dengan Nazi yang mati di tangan Gestapo serta
pemerkosaan massal yang dilakukan oleh tentara Jerman ketika melakukan
penyerangan ke Rusia. Seisi dunia tahu akan peristiwa tersebut dan apakah ini
yang hendak dikatakan sebagai berbudaya dan beradab? Tak kalah mengherankan
bahwa tidak adanya orang Batak yang mengajukan protes terhadap buku J.T.
Nommensen tersebut selama ini malah mencetak ulang buku tersebut terakhir pada
tahun 2003 lalu, sedang cetakan pertama tahun 1921 meskipun buku tersebut
nyata-nyata merendahkan martabat orang Batak.
Masyarakat Batak Toba
di masa lalu adalah masyarakat yang hidup di dalam huta, horja, dan bius. Mereka
bukanlah bangsa yang liar dan barbar sebagaimana banyak digambarkan oleh musafir
asing dan para misionaris Jerman yang datang ke wilayah Batak Toba. Untuk dapat
hidup bersama-sama dari sumber yang sama, maka mereka memiliki cara tersendiri
untuk melakukan penataan dan pengaturan di dalam huta, horja, dan bius tadi.
Cara berpikir mereka yang utuh dan menyeluruh terlihat ketika mereka membedakan
dan menggabungkan hal-hal yang bersifat sekuler dan yang bersifar religius.
Mereka mengorganisir diri dengan rapi, sehingga seluruh aktivitas hidup mereka
tertata dan terorganisir di dalam huta, horja, dan bius, baik secara sekuler
maupun religius. Karena, Dewan Bius bekerja berdampingan dengan Parbaringin
walaupun ada pemisahan fungsi di mana Parbaringin berfungsi untuk memimpin
hal-hal yang bersifat religius dan Dewan Bius menangani hal-hal yang bersifat
sekuler di dalam lingkungan biusnya. Pada akhirnya, mereka dipersatukan di
bawah pengayoman Dewa-raja, Singamangaraja sebagai primus
interpares.
Di dalam
pengorganisasian masyarakat banyak seperti itu tentulah diperlukan sejenis
peraturan/norma-norma, larangan, tabu, dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu
kebaikan/kebenaran tertinggi di dalam diri mereka. Semuanya ini sudah
dikemukakan di dalam huta, horja, dan bius yang telah dipaparkan dan sebagai
wujud daripada itu dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan ketika menyambut
dan menerima misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward. Sebelumnya misionaris
ini sudah melihat bagaimana baiknya mereka menata alam-lingkungannya, sawah dan
sistim irigasinya, tanamannya, pasarnya, dan lain-lain. Mereka secara terbuka
menyambut kedua misionaris ini dengan tor-tor dan memberikan tempat buat
keduanya serta memberikan kesempatan kepada misionaris ini untuk bicara. Di
hadapan 2.000 orang, misionaris ini bicara dan berkhotbah menyampaikan firman
Tuhan, tetapi mereka menolak apa yang disampaikan misionaris tanpa ada
permasalahan.
Dua minggu lamanya
kedua misionaris tinggal bersama-sama mereka di Silindung, tapi kedua misionaris
tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Bangkara oleh karena penyakit disentri
yang dideritanya. Ketika hendak kembali ke Sibolga, mereka masih mengadakan
acara perpisahan dan menjamu kedua misionaris dengan makan pada acara perpisahan
yang meriah dihadiri 7.000 orang. Sesampainya kedua misionaris di Sibolga,
sampai juga surat undangan Singamangaraja untuk datang ke Bangkara sehubungan
dengan kemarau yang sudah mulai merusak tanaman penduduk, tapi misionaris tidak
dapat memenuhinya akibat dari penyakit disentrinya. Semuanya ditulis Richard
Burton dan Nathaniel Ward di dalam kesaksiannya tentang Batak Toba di lembah
Silindung.
Kesaksian Richard
Burton dan Nathaniel Ward (1824) ini mengkonfirmasi bagaimana baiknya
pengorganisasian masyarakat Toba melalui huta, horja, dan bius sebelumnya.
Gambaran masyarakat Toba ini menolak isu-isu isapan jempol tentang orang Batak
Toba yang kanibal, barbar, tak berbudaya, liar, dan hidup di dalam perang. Para
misionaris Jerman ini selalu memandang Batak sebagai berbudaya rendah, sedang
mereka berbudaya tinggi dan superior, sehingga orang Batak harus dibentuk
seperti mereka. Para misionaris Jerman ini turut merusak sebagian tatanan
masyarakat dalam huta, horja dan bius tadi yang sudah memelihara hidup mereka
dalam waktu yang sangat panjang. Pola huta, horja dan bius ini telah membentuk
mereka hidup di dalam sistim demokrasi yang federal seperti di Amerika sana.
Belum lagi mereka banyak mengangkut
kekayaan budaya Batak berupa buku laklak, patung, dan benda-benda
lainnya.
Peneliti Jerman,
Franz Wilhem Junghuhn, menjelajahi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Selama 17
bulan keberadaannya di tanah Batak, Junghuhn mengaku tidak pernah menyaksikan
praktek kanibalisme di desa-desa yang dilaluinya. Dia malah heran mengapa
predikat barbar dan kanibalisme itu melekat pada diri orang-orang Batak selama
berabad-abad. Dalam bukunya Die Battaländer auf Sumatra
(1847), Junghuhn menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme
hanya rumor yang sengaja diciptakan orang Batak sendiri untuk membentengi diri
dari ancaman luar yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikianlah orang
Batak membentuknya selama berabad-abad (Hutahaen, 2011:2).
Memang masyarakat
Toba mengalami penderitaan yang membuat mereka trauma berat akibat kekejaman
yang dialami pada waktu invasi pasukan Paderi (1825-1829), setahun setelah
kedatangan Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824). Berbagai macam tindakan
pasukan Paderi telah meluluh-lantakkan wilayah Toba dengan membunuhi orang,
membungi-hanguskan kampung, menjarah harta benda, memperkosa dan membawa para
perempuan untuk dijual. Keadaan tadi diikuti lagi oleh berkembangnya penyakit kolera akibat
banyaknya mayat membusuk yang tidak dikubur, sehingga banyak meninggal
akibatnya. Di dalam kondisi trauma berat yang mereka alami itu, W.B. Sijabat
menyebutnya Xenophobia, datanglah Munson dan Lyman (1834) ke Sisaksak,
Lobupining.
Sebelum berangkat ke
pedalaman Toba, Samuel Munson dan Henri Lyman bertemu dengan Nathaniel M. Ward
di Padang pada 29 April 1834. Munson dan Lyman adalah warga negara Amerika
Serikat dan sangat kritis terhadap sikap pemerintah Belanda sebagaimana
perkataan Henri Lyman sendiri: “Selama 200 tahun penduduk pribumi tanpa
kecuali telah dijadikan sasaran ketamakan dan ambisi; sasaran penindasan, dan
alat mendapatkan keuntungan bagi penakluk asing. Dan penakluk itu menyebut
dirinya orang Kristen!” (Sijabat, 2007:399).
Lebih jauh Prof. DR.
W.B. Sijabat memaparkan tentang peristiwa Munson dan Lyman ini hingga tuntas di
dalam bukunya: “AHU SI SINGAMANGARAJA: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan
Religius Si Singamangaraja XII” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2007:395-401).
Munson dan Lyman sudah tahu sebelumnya, bahwa kalau penduduk menganggap mereka
adalah “orang Belanda”, maka mereka pasti celaka. Hal ini sudah mereka pelajari
dari kapten kapal Pago-pago yang mereka tumpangi dari Padang ke Sibolga, sedang
orang Inggris, Amerika, Batak, Aceh atau Bugis akan diterima sebagai kawan.
Penduduk sangat curiga terhadap Pidari dan Belanda (Sijabat,
2007:399-400).
Munson dan Lyman
berangkat ke pedalaman dengan seorang yang bernama Jan, seorang yang misterius
hingga saat ini, yang justru ditunjuk oleh orang Belanda sendiri di Sibolga.
Mereka bermaksud pergi ke Sakka (Sisaksak? Pen.) hendak menginap di tempat raja
na opat. Sesampainya mereka di daerah Sakka, justru Jan yang terlebih dahulu
berbicara dengan penduduk di Lobupining, yang termasuk lingkungan raja na opat,
berkedudukan di Sakka. Lobupining sudah ditugaskan raja na opat pada waktu itu
untuk mengamati orang yang datang dari luar dan mau masuk ke Silindung, agar
peristiwa seperti pada zaman masuknya pasukan Paderi tidak terulang kembali.
Lobupining merupakan semacam pos pengawalan pasukan raja na opat, yang tunduk
kepada Singamangaraja XI (Sijabat, 207:400).
Kedua misionaris
langsung dikepung penduduk dan langsung dibunuh tanpa mengetahui apa yang
dibisikkan oleh Jan kepada orang Batak itu, namun bukan “dimakan” seperti yang
digembar-gemborkan oleh pihak Belanda dan misionaris Jerman. Sementara Jan
sendiri pergi melarikan diri kembali ke Sibolga kepada pihak Belanda. Data-data
dalam Memoirs tadi menunjukkan, bahwa Jan, penunjuk jalan pilihan itu,
mungkin sekali membisikkan kepada orang Sakka, bahwa kedua orang itu adalah dari
pihak Belanda; oleh karena itu mereka segera dikepung dan dibunuh (Sijabat,
2007:400; Cf. Gould dan Pedersen).
Hal ini terbukti
juga dari reaksi orang Batak sendiri di tempat itu setelah mengetahui kemudian
hari, bahwa sebenarnya maksud Munson dan Lyman ialah tujuan baik, maka mereka
mengambil tindakan tegas terhadap yang membunuh itu. Itulah sebabnya di dalam
Memoirs Munson dan Lyman dapat dibaca catatan editor buku ( Sijabat,
2007:400-401) tersebut:
When it became known
from the natives on the coast and from others on the road, that the brethren
were good men, and bad come to do the Batta nation good, all the vellages around
leagued together for vengeance against the villages where the outrage was
perpetrated, and to require blood for blood. The unhappy villages was named
Sacca.
Setelah diketahui
dari kalangan penduduk di bagian pantai dan dari orang yang mengadakan
perjalanan, bahwa saudara-saudara itu orang-orang baik, dan datang hendak
berbuat baik bagi orang Batak, maka semua desa di sekitarnya berkumpul untuk
mengadakan pembalasan terhadap desa yang melakukan kejahatan itu, dan menuntut
darah ganti darah. Desa celaka itu disebut Sakka.
Peristiwa kematian
Munson dan Lyman justru sering dibesar-besarkan dan data tersebut di atas tidak
diberitahukan pihak Belanda, bahwa mereka dibunuh, bahkan “dimakan habis”, yang
sama sekali tidak mempunyai bukti ilmiah dan historis. Kalau ingin mengetahui
kebenaran tentang yang diutarakan ini, maka tidak usah membaca tulisan orang
Batak, karena dapat dianggap sebagai usaha defensif apologetis. Cukup mengetahui
bahwa keluarga Munson dan Lyman sendiri tidak meyakini kalau Munson dan Lyman
dimakan habis. Mereka bahkan mencurigai Belanda sebagai pihak yang campur tangan
“lempar batu sembunyi tangan”, karena Belanda takut kalau-kalau misionaris
Amerika itu akan membantu orang Batak melihat kejahatan penjajahan Belanda yang
mendiami daerah yang justru hendak dianeksasi waktu itu, sesuai dengan nota
Gubernur Jenderal van den Bosch. Ennis, teman Munson dan Lyman dari Amerika,
juga disuruh Belanda pulang dari Natal sesudah tahun 1834 (Sijabat,
2007:401).
Setelah diadakan
penelitian yang lebih seksama belakangan ini, “Gould dan Paderson tidak
melihat bahwa Munson dan Lyman dimakan oleh orang Batak, melainkan menjadi
korban intrik politik penguasa Belanda di Sibolga waktu itu.” Diperkirakan
bahwa Sickman, Letnan Schack dan Schooner Argd dari pihak militer Belanda di
Sibolga yang paling tahu tentang maksud dan tujuan pembunuhan kedua martir itu
(Sijabat, 2007:401; bnd. Memoirs Munson & Lyman). Menjadi catatan juga,
bahwa kuburan Munson dan Lyman ada di Lobupining, maka ini menjadi keanehan
tersendiri, karena bagaimana mungkin ada kuburan manusia yang dimakan habis
semua dagingnya?
Tak kalah hebatnya
juga bahwa para misionaris Jerman turut membesar-besarkan tentang peristiwa
kematian Munson dan Lyman ini melalui penelitian Dr. A. Schreiber menunjukkan
bahwa daging kedua misionaris dimakan habis (Simanjuntak, 2006:48). Demikian
juga misionaris Dr. Johannes Warneck turut meneguhkan peristiwa itu walau dengan
alasan bahwa perbuatan mereka dilatarbelakangi ketakutan orang Batak Toba.
Mereka juga memperbesar-besar cerita tentang masalah orang Batak makan manusia
(kanibalisme) seperti yang dilakukan oleh J.T. Nommensen melalui buku yang
ditulisnya. Kiranya ini dapat mendorong untuk meneliti karya-karya tulis para
misionaris Jerman yang justru memperbesar-besar cerita seperti ini dan memandang
buruk semuanya budaya Batak. Sebagai Anugerah Umum dari Allah, maka patut
diyakini bahwa kebudayaan Batak itu tentulah ada yang baik, karena berasal dari
Allah. Mungkin para misionaris Jerman tersebut mendapat keuntungan juga atas
tindakan Belanda yang memperbesar-besar cerita kematian Munson & Lyman ini,
tetapi merekalah yang tahu itu. ***
Telah dimuat di:
Koran BATAK POS
Edisi Sabtu, 22 September 2012
Telah dimuat di:
Koran BATAK POS
Edisi Sabtu, 22 September 2012
BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
KEBUDAYAAN DAN ADAT BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh: Edward Simanungkalit
Pendahuluan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, hasil cipta, rasa, dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan
kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Sedang adat merupakan bagian dari kebudayaan tersebut. Jadi,
adat merupakan wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem. Demikian
juga sama halnya dengan kebudayaan dan adat Batak seperti kebudayaan dan adat
suku bangsa lainnya.
Setelah Allah menciptakan manusia, maka “Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi.’ … TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam
taman Eden untuk memelihara dan mengusahakan taman itu.” (Kejadian 1:28;
2:15). Istilah mengusahakan yang terdapat di dalam ayat ini ada hubungannya
dengan culture, sehingga manusia diciptakan menjadi mahluk yang bersifat
kultur/budaya. Inilah yang biasa disebut dengan Mandat Budaya, yang
berbeda dengan Mandat Misi (Matius 28:19-20), tetapi keduanya tidak dapat
dipisah-pisahkan sebagai dual-mandate.
Allah yang adalah Roh turun dari sorga dan menjadi
manusia di dalam Yesus Kristus: “… Firman itu adalah Allah. … Firman itu telah
menjadi manusia, dan diam di antara kita, …” (Yohanes 1:1, 14). Yesus datang ke
dunia dan hidup di tengah-tengah masyarakat Israel. Dia tidak mengasingkan diri
dan pergi bertapa, tetapi hidup bersama keluarga-Nya di Nazareth hingga berusia
30 tahun. Kemudian berjalan dari kampung ke kampung dan ada juga Dia menghadiri
pesta perkawinan di Kana. Jelas, Yesus hidup di dalam sebuah masyarakat yang
berbudaya dan beradat pada masa itu. Yesus tidak menolak semua budaya dan adat
waktu itu, tetapi mengkritisi hal-hal tertentu.
Wahyu Umum dan Anugerah Umum
Allah berinisiatif memberikan diri-Nya agar dapat
dikenal oleh manusia melalui dua macam Wahyu Allah, yaitu: Wahyu Umum
dan Wahyu Khusus. Wahyu Umum merupakan penyataan
diri Allah kepada semua manusia melalui alam semesta (eksternal) dan hati nurani
(internal), tetapi tidak menyelamatkan dalam artian keselamatan kekal.
Wahyu Khusus merujuk pada kebenaran yang lebih spesifik tentang Allah yang
dapat diketahui melalui cara supranatural, yaitu firman yang menjadi manusia
(Yesus Kristus) dan firman tertulis (Alkitab).
Adapun
pernyataan mengenai Wahyu Umum dapat ditemukan di dalam Mazmur 19; Roma 1:18-21,
32; Roma 2:14-16. Dalam Mazmur 19, sang pemazmur mengemukakan bahwa kemuliaan
Allah nampak melalui langit dan cakrawala serta memperlihatkan kuasa Allah yang
mencipta. Roma 1:32 dan Roma 2:14-16 menyebutkan aspek lain dari wahyu Allah,
yakni tentang tuntutan hukum Allah melalui hati nurani manusia.
Di
dalam Wahyu Umum, manusia meresponinya
dengan dua hasil, yaitu munculnya sains dan kebudayaan sebagai respon terhadap
Wahyu Umum di dalam bentuk alam
semesta, dan munculnya agama sebagai respon terhadap
Wahyu Umum dalam bentuk hati nurani.
Tetapi akibat dosa, semua bentuk respon manusia terhadap
Wahyu Umum pun pasti terpolusi oleh
dosa, sehingga manusia tidak dapat mengenal apa yang Allah telah nyatakan dengan
benar. Oleh karena itu, tidak heran manusia bukan menyembah
Allah, tetapi ilah-ilah buatan mereka yang mereka anggap sebagai “Allah”.
(Sutandio, 2007:1). Hal ini dapat kita lihat dengan adanya penyembahan dan
pemberian sesajen kepada dewa-dewa di antara suku-suku bangsa di dunia dan
adanya agama-agama suku meskipun itu suku terasing.
Respon manusia terhadap Wahyu Umum tadi, sebagaimana
telah dikemukakan, menghasilkan munculnya sains dan kebudayaan, sehingga dari
orang tak percaya dapat muncul berbagai sains seperti Phytagoras, Archimedes,
dll. Dan, orang tak percaya juga menghasilkan kebudayaannya masing-masing di
segenap penjuru bumi ini. Itulah sebabnya Khong Fu Cu dapat menghasilkan
pemikiran yang mampu menata masyarakat Tionghoa hingga ribuan tahun. Pemikiran
ini merupakan anugerah bagi suku bangsa Tionghoa, yang di dalam theologi Kristen
diakui sebagai Anugerah Umum (common grace) dan Wahyu Umum yang
diberikan kepada semua orang, baik orang percaya maupun tak percaya. Walaupun
kebudayaan itu tidak seratus persen setara dengan anugerah umum maupun
wahyu umum, tetapi kebudayaan merupakan respon manusia terhadap Wahyu Umum dari
Allah (Sutandio, 2007:1).
Allah menyatakan
Anugerah Umum-Nya (Common Grace) untuk menghentikan dosa dan
akibatnya di dalam dunia. Sehingga, tidak heran kita dapat melihat orang-orang
tak percaya sekalipun di dunia ini memiliki perbuatan dan pemikiran yang baik
dan cerdas bahkan lebih daripada orang-orang percaya. Ini membuktikan adanya
Anugerah Umum Allah yang tetap mengandung bibit dosa. Mereka bisa melakukan
Taurat ini, karena Allah telah menanamkan Taurat di dalam hati setiap manusia
(Roma 2:15). Oleh karena itu, kekristenan yang meyakini akan adanya anugerah
umum (common grace) menghargai kebenaran agama-agama lain dan kebudayaan di
dalam mengemban mandat budaya (cultural mandate) sebagai respon terhadap wahyu
umum (general revelation). Sehingga, usaha yang dilakukan agama dan kebudayaan
dalam mencari kebenaran haruslah dihargai sebagai respon terhadap wahyu umum
dengan motto: “Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah” (All Truth is God’s
Truth). Karena, Allah adalah Kebenaran itu sendiri, dan bahwa Dia adalah Sumber
Kebenaran. Maka, setiap kebenaran yang diinterpretasikan harus kembali kepada
Dia yang telah menyatakan diri-Nya dalam Kristus dan Firman-Nya (www.reformed-crs.og).
Kebudayaan
dan Adat Batak
Sumbangan
teologis Abraham Kuyper yang paling besar adalah doktrin anugerah bagi seluruh
umat manusia (common grace) yang mengajarkan bahwa Allah telah bermurah
hati untuk mengendalikan kuasa dosa dalam dunia kita yang sudah rusak ini,
sehingga dunia kita tidak menjadi dunia yang terburuk yang mungkin terjadi.
Dengan kata lain, inilah anugerah yang menyelamatkan dunia itu, satu-satunya
yang menopang alam semesta dari kejatuhannya. Kuasa dosa di dalam diri manusia
itu bersifat merusak (destruktif), sehingga Allah memelihara manusia untuk
menyelamatkan dunia ini beserta seluruh isinya.
Di dalam
kerangka pikir inilah kita memandang kebudayaan dan adat Batak, bahwa walaupun
kebudayaan dan adat Batak tidak setara dengan anugerah umum dan
wahyu umum, tetapi kebudayaan dan adat Batak itu merupakan respon
nenek-moyang Batak terhadap Wahyu Umum Allah (general revelation) dengan hasil
yaitu munculnya kebudayaan dan adat (termasuk agama suku). Kita melihat bahwa
kebudayaan dan adat Batak ini telah memelihara masyarakat Batak ribuan tahun
termasuk huta-horja-bius di dalam masyarakat Toba. Sebagaimana Allah memelihara
seluruh suku-suku bangsa untuk menyelamatkan bumi ini dari kepunahan, maka Allah
juga memelihara bangsa Batak sejak sebelum masuknya agama Kristen hingga
sekarang. Meskipun semuanya ini, termasuk wahyu umum dan anugerah umum, tidak
membawa manusia kepada keselamatan kekal.
Seluruh
keturunan Adam telah berdosa, maka seluruh umat manusia telah dikuasai dosa.
Oleh karena itu, kebudayaan dan adat Batak sebagai respon nenek-moyang Batak
terhadap Wahyu Umum Allah telah tercemar oleh dosa juga. Sehingga, kecemaran
oleh dosa ini mengakibatkan ada hal-hal yang tidak sesuai dengan Wahyu Khusus
(Alkitab, yaitu firman Allah tertulis). Sebagaimana Yesus turun dari sorga dan
hidup di dalam masyarakat dengan kebudayaan dan adatnya sendiri, maka kita pun
hidup di dalam masyarakat dengan kebudayaan dan adat Batak. Sikap Yesus tidak
menolak semuanya, tetapi menolak yang tidak benar, maka kita pun tidak menolak
semuanya mengingat ada yang baik di sana, tetapi menolak yang tidak sesuai
dengan firman Allah dalam Alkitab. Sikap ini kita lakukan dalam pandangan ke
depan, ke arah mana kita melangkah, yaitu langit baru dan bumi baru, dan di
sanalah kita nanti akan mendengar Dia berkata: “Lihatlah, Aku menjadikan
segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5). ***
MENELUSURI LATAR BELAKANG
BUDAYA BATAK
Oleh: Edward
Simanungkalit
Pantai Timur Sumatera bagian
Utara lebih mudah diterima pikiran sebagai pintu masuk kedatangan nenek-moyang
Batak, karena berada bersebelahan dengan Semenanjung Malaka di Benua Asia.
Itulah sebabnya penelitian di pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara lebih
banyak dan menarik untuk diikuti. Penelitian yang dilakukan oleh H.M.E.
Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli
Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), Mc. Kinnon di DAS Wampu, Prof.
Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe
dan oleh Tim Balarmed di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung
budaya Hoabinhian sudah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun
lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).
Sedang di sebelah Barat dari
Sumatera bagian Utara ditemukan juga adanya kedatangan pendukung budaya
Hoabinhian di Pulau Nias (Wiradnyana, 2011:25-29). Meskipun demikian, bahwa
kehidupan yang lebih awal sudah ada yang datang ke Pulau Nias dan Kuantan
Singingi, Riau pada masa Paleolitik di sekitar awal adanya manusia hingga 10.000
tahun lalu (Wiradnyana, 2011:9-17). Seperti inilah gambaran keberadaan kehidupan
manusia yang merupakan pendukung budaya Hoabinhian yang berada di wilayah
Sumatera bagian Utara pada masa hingga 6.000 tahun lalu.
Pembukaan hutan sebagaimana
diperlihatkan oleh Bernard Kevin Maloney di Pea Sim Sim yang berada di sebelah
Barat dari Nagasaribu, Humbang yang pentarikhannya diperkirakan sekitar 6.500
tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Temuan ini tentulah tidak mengherankan,
karena hasil penelitian di pantai Timur Sumatera bagian Utara sudah
memperlihatkan tentang kedatangan para pendukung budaya Hoabinhian pada periode
tersebut di berbagai tempat. Mereka ini datang dari Vietnam bagian Utara melalui
Semenanjung Malaka.
Pendukung budaya Hoabinhian ini
merupakan bangsa setengah menetap dan bertempat tinggal di gua, pemburu, dan
bercocoktanam sederhana. Mereka menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari
tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling,
dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna
merah, mata panah, flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang
buruan atau kerang-kerangan.
Robert von Heine Geldern
mengemukakan bahwa kelompok pendukung budaya Dongson bermigrasi dari Selat
Tonkin, Vietnam yang berkembang dengan kebudayaan Dongson, melalui Semenanjung
Malaka terus ke Sumatera bagian Utara pada masa Neolitik sekitar 6.000-2.000
tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Dari sini terlihat masuknya pengaruh budaya
Dongson ke dalam budaya Toba. Hal inipun dikuatkan Ketut Wiradnyana dari Balar
Medan mengatakan: “Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson
(salah satu budaya berasal dari Veitnam Utara) yang perkembangannya sekitar
2.500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola
hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau
manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Waspada:
11/01-2012).
Kebudayaan Dongson mulai
berkembang di Vietnam. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan zaman perunggu, yang
berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Masyarakat Dongson
adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi,
memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka agaknya menetap di
pematang-pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah-rumah
panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi
emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat
pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina
dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang.
Bermacam-macam benda seperti
kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan
berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Ada juga gerabah dan jambangan
rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan
termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain.
Hampir semuanya benda tersebut diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri
dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan
spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.
Ciri-ciri kebudayaan Dongson
terlihat di dalam budaya Toba hingga sekarang ini, tetapi bagaimana hubungan
antara pendukung budaya Hoabinhian sebagaimana ditemukan di Pea Sim Sim dengan
pendukung budaya Dongson ini masih memerlukan penjelasan melalui penelitian
ilmiah. Mungkin saja telah terjadi percampuran antara para pendukung budaya
Hoabinhian dengan pendukung budaya Dongson. Untuk itu masih diperlukan
penelitian tentang kapan masuknya para pendukung budaya Dongson ini ke Tanah
Batak (Toba) hingga terjadi percampuran tadi. Kalau percampuan antara pendukung
budaya Hoabinhian dan Dongson itu yang terjadi, maka mereka jugalah yang
membangun masyarakat di Sianjur Mula-mula. Masyarakat Toba ini kemudian
membangun huta, horja, dan bius di Sianjur Mula-mula. Masyarakat dengan sistim
organisasi bius yang hidup dari pertanian sawah di lembah-lembah sekitar Danau
Toba dan juga di lembah-lembah Humbang dan Silindung tentulah sangat menarik
untuk diteliti lebih jauh. Di masa lalu masyarakat Toba ini telah mampu menata
hidup mereka dan mengorganisir masyarakatnya ke dalam sistim huta, horja, dan
bius dengan mata pencaharian melalui bertani di sawah. Mereka hidup makmur,
teratur dan damai di alam yang indah seperti disaksikan oleh penginjil Burton
dan Ward dari Inggris ketika beberapa waktu melakukan misi-penginjilan di lembah
Silindung. ***
Tulisan ini
telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 29
September 2012
Kewargaan tadi hanya boleh dicabut atas diri seseorang dengan hukuman terberat dibuang ke luar bius atau dikucilkan melalui pengadilan bius. Hukuman dijatuhkan atas pelanggaran berat, seperti membunuh orang, membakar rumah, berzinah, dlsb. Adat Bius yang demikian, diwariskan oleh Bius Sianjur Mula-mula dan kemudian menjadi hukum di setiap bius lainnya.
Mitos Pendeta-raja merupakan pangkal tolak proses “kesatuan Toba” sebagaimana akhirnya menjadi klaim lembaga Singamangaraja sejak abad ke-16. Ketiganya merupakan Pendeta-raja, sedang kemudian muncul Dewa-raja, yaitu lembaga Singamangaraja yang menjadi pemersatu di tingkat “nasional” Toba. Singamangaraja bukan parbaringin dan tidak membawahi organisasi parbaringin bius manapun, tetapi organisasi parbaringin di tiap bius manapun di seluruh Toba mengakui kepemimpinan religius dan politik Singamangaraja. Meskipun demikian, parbaringin tidak melepaskan pengakuannya kepada Pendeta-raja di ketiga wilayah masing-masing.
Sifat Singamangaraja di atas memberikan gambaran bagaimana seorang raja dan ini akan menjadi sifat yang diturunkan ke jajaran di bawahnya untuk dianut. Dengan demikian, memberikan gambaran bagaimana nilai-nilai tertinggi yang dianut di dalam sebuah “negara” , yaitu negeri Toba, dan dengan masyarakatnya, yaitu masyarakat Toba. Secara keseluruhan, kita dapat memperoleh gambaran bagaimana masyarakat Toba merupakan masyarakat yang tertata di dalam huta, horja, dan bius di bawah pemerintahan seorang Dewa-raja, yaitu Singamangaraja.
MASYARAKAT
TOBA DALAM HUTA, HORJA DAN BIUS
Oleh:
Edward Simanungkalit
Sejarah lisan
Toba, yaitu tarombo, yang diwariskan dari generasi ke generasi menceritakan
bahwa pemukiman pertama sebagai desa yang terorganisir didirikan oleh leluhur
Batak-Toba melalui usaha pertanian bersawah dengan menggunakan sistim irigasi.
Namanya Sianjur Mula-mula, yang terletak pada dua lembah kecil, Lembah Sagala
dan Lembah Limbong, sebelah barat Gunung Pusuk Buhit di pantai barat daya Danau
Toba. Di sanalah leluhur orang Toba membangun bius sebagai lembaga otonom yang
meliputi kedua lembah tersebut. Konsep bius sebagai negara-mini lahir dari
sistim pertanian bersawah dan faktor sistim irigasi dalam kehidupan setiap desa
bertani sawah. Desa Toba memiliki ciri lembah/rura di mana tiap lembah tersebut
mengkondisikan terbangunnya sebuah paguyuban (valley society) yang berporos pada
satu sistim irigasi, yaitu bius, yang dikelola secara tunggal meliputi seluruh
lahan persawahan lembah. Ini merupakan tuntutan alam yang memaksa penduduk
lembah itu untuk menciptakan organisasi bius dan hukum bius (Situmorang,
2009:11-12).
Melihat kepada hasil penelitian Bernard Kevin Maloney (1983), bahwa pendahulu Toba itu sudah memiliki arah ciri lembah (valley) sebagaimana ditemukan adanya bekas kehidupan di Pea Sim Sim pada sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Dengan rentang waktu yang panjang, yaitu sekitar 4.000 tahun, ditemukan adanya jejak kehidupan di Tao Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar 2.600 tahun lalu, Pea Bullok pada sekitar 2.700 tahun lalu. Kehidupan di ketiga tempat ini juga tetap berciri lembah (valley) yang sama seperti sebelumnya. Diperkirakan bahwa mereka ini berasal dari pendukung budaya Hoabinh. Kemudian selanjutnya pada periode berikut, datangnya pendukung budaya Dongson membuat percampuran antara pendukung budaya Dongson dengan pendukung budaya Hoabinh di mana kebudayaan Dongson lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka inilah yang menempati Sianjur Mula-mula di lembah Limbong-Sagala dengan kebudayaan yang dominan bercorak Dongson. Dengan teknologi dan kemampuan bertani sawah yang mereka miliki, mereka pun membangun pertanian sawah dan kemudian berkembang melahirkan bius.
Melihat kepada hasil penelitian Bernard Kevin Maloney (1983), bahwa pendahulu Toba itu sudah memiliki arah ciri lembah (valley) sebagaimana ditemukan adanya bekas kehidupan di Pea Sim Sim pada sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Dengan rentang waktu yang panjang, yaitu sekitar 4.000 tahun, ditemukan adanya jejak kehidupan di Tao Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar 2.600 tahun lalu, Pea Bullok pada sekitar 2.700 tahun lalu. Kehidupan di ketiga tempat ini juga tetap berciri lembah (valley) yang sama seperti sebelumnya. Diperkirakan bahwa mereka ini berasal dari pendukung budaya Hoabinh. Kemudian selanjutnya pada periode berikut, datangnya pendukung budaya Dongson membuat percampuran antara pendukung budaya Dongson dengan pendukung budaya Hoabinh di mana kebudayaan Dongson lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka inilah yang menempati Sianjur Mula-mula di lembah Limbong-Sagala dengan kebudayaan yang dominan bercorak Dongson. Dengan teknologi dan kemampuan bertani sawah yang mereka miliki, mereka pun membangun pertanian sawah dan kemudian berkembang melahirkan bius.
Bius Sianjur
Mula-mula merupakan bius pertama di lembah Limbong-Sagala. Dari Bius Sianjur
Mula-mula ini kemudian bermigrasi terus ke sepanjang pantai barat Danau Toba
hingga lembah terluas Toba-Holbung di sepanjang garis pantai selatan Danau Toba.
Lembah-lembah di kawasan pantai barat dan selatan Danau Toba ini kondisi dan
bentuknya hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala, sehingga daerah ini menjadi
tujuan utama arah gerak migrasi. Dari bius Sianjur Mula-mula ini kemudian arus
migrasi lainnya ke Pulau Samosir dan perkembangan terus ke daerah Humbang,
lembah Silindung dan ke barat sampai ke tebing-tebing Bukit Barisan yang
menghadap garis pesisir barat Sumatera. Pola gerak migrasi yang lebih dulu
tertuju ke sepanjang pantai barat dan selatan danau Toba, karena semuanya
berbentuk lembah yang hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala melahirkan
bius-bius bercorak valley-society sambil terus berkembang sesuai kondisi di
tempat-tempat baru tersebut.
Huta-Horja-Bius
merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Huta
bukanlah desa atau kampung dalam pengertian sekarang. Huta merupakan persekutuan
hukum dan adat terkecil di dalam masyarakat Toba. “Huta: secara harfiah berarti
‘kota’ atau ‘kuta’, yaitu pemukiman berupa benteng bertembok dan selalu
berbentuk bujursangkar. Ukurannya rata-rata 50x70 meter persegi. Huta merupakan
milik dari pendirinya dan terun-temurun diperintah oleh keturunannya sebagai
tingkat pemerintahan bius paling bawah.” (Situmorang, 2009:522). Huta ini
dikelilingi oleh tembok batu (tano bato) yang ditanami bambu. Setiap huta
memiliki ruma (rumah hunian) dan sopo (lumbung). Setiap huta dipimpin oleh
seorang raja-huta secara turun-temurun di mana para raja-huta inilah yang
merupakan elit politik dalam bius. Melalui raja-huta itulah terpilih semua
pejabat teras bius, yaitu pemerintahan (dewan) bius yang sekuler. Golongan
raja-huta di semua bius merupakan elite politik yang wakil-wakilnya merupakan
anggota musyawarah (ad hoc) di tiap horja.
Huta biasanya berisi enam, delapan, sepuluh atau selusin ruma. Sebagian didiami oleh dua-tiga keluarga, tetapi urusan intern huta sangat banyak jumlahnya. Raja-huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam huta. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka raja-huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan keputusan harus berdasarkan adat ber-horja dan adat ber-bius, sehingga raja-huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada horja dan bius. Ini digambarkan melalui ungkapan: “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius.”. Beberapa huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘horja’. Biasanya satu horja terdiri dari sejumlah huta atau 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat horja.
Huta biasanya berisi enam, delapan, sepuluh atau selusin ruma. Sebagian didiami oleh dua-tiga keluarga, tetapi urusan intern huta sangat banyak jumlahnya. Raja-huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam huta. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka raja-huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan keputusan harus berdasarkan adat ber-horja dan adat ber-bius, sehingga raja-huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada horja dan bius. Ini digambarkan melalui ungkapan: “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius.”. Beberapa huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘horja’. Biasanya satu horja terdiri dari sejumlah huta atau 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat horja.
Horja
terbentuk oleh kelompok marga-raja bersama mereka yang leluhurnya dari semula
ikut membantu usaha pembukaan huta dan pendatang baru. Biasanya yang ikut dalam
pembukaan huta tersebut ialah boru, sehingga marga-boru atau boru ni tano ini
termasuk juga membentuk horja. Horja adalah bentuk kerjasama selamanya antara
keturunan pionir dan pendatang. Dalam setiap keputusan penting selalu
berdasarkan konsensus antara marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja.
Dengan demikian, maka di dalam horja, bahwa marga bukanlah suatu organisasi dan
merupakan subjek hukum pemilik tanah mengingat adanya marga-boru (boru ni tano)
dan pendatang tadi. Marga berfungsi sebagai pimpinan horja, pengayom golat/hak
ulayat atas nama horja (Situmorang, 2009:38-39).
Tiap horja
adalah bagian dari bius dan bius melebihi dari satu horja. Jumlah horja
tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu bius. Setiap
horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua horja di dalam
suatu bius, tetapi setiap bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri.
Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam
musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja
atau kegiatan di mana seluruh warga terlibat. Setiap horja memilih dan mengutus
wakilnya menjadi anggota dewan bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya
untuk menjadi pendeta/parbaringin yang akan duduk dalam organisasi parbaringin
(Situmorang, 2009:39-40).
Bius merupakan
paguyuban yang terdiri dari beberapa horja. “Bius: paguyuban dengan kekuasaan
dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan,
tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat).” (Situmorang,
2009:521). Pada hakikatnya pimpinan bius terdiri dari dwitunggal, yaitu primus
interpares (sekuler) dari bius dan Pande-Bolon (pimpinan parbaringin di bius).
Sementara kedaulatan rakyat berada di tangan si tuan na torop. Dewan Bius
terdiri dari utusan tiap-tiap horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua”
dari horja “tertua” (pengayom hukum).
Status
parbaringin (kependetaan) bersifat turun-temurun dan mereka diutus oleh horja.
Parbaringin utama bergelar Pande-Bolon yang bertindak sebagai ketua organisasi
parbaringin dan penasihat utama Dewan Bius (yang sekuler). Pande-Bolon
didampingi oleh pendeta-pendeta utama dengan pembagian tugas di antara mereka
menurut bidang-bidang yang terpenting. Tugas-tugas itu menyangkut ritual-ritual
yang mengiringi seluruh proses pertanian sepanjang “tahun” (antara masa panen
dengan masa panen berikutnya). Organisasi parbaringin juga terlibat dalam
pembagian tanah yang berlangsung secara berkala “sekali dalam 60 tahun” .
Organisasi parbaringin mendampingi Dewan Bius dalam perundingan dengan bius
lain, khususnya bila terjadi konflik dan Parbaringin berstatus “juru damai dan
sakral yang dihormati oleh semua pihak.” (Situmotang,
2009:200-201).
Dewan Bius
(adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum Adat Bius. Hukum
Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga Bius yang awal di Sianjur
Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung
awal dari orang Toba dan dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya
berkembang. Bius menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori
dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.
Semua perangkat hukum adat tak tertulis itu tercakup dalam lembaga bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Bius. Adat Bius (Situmorang, 2009:12-13) itu meliputi pengaturan:
Semua perangkat hukum adat tak tertulis itu tercakup dalam lembaga bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Bius. Adat Bius (Situmorang, 2009:12-13) itu meliputi pengaturan:
1.
Hukum pertanahan (hak ulayat).
2.
Hukum relasi bertetangga atau relasi kewilayahan antar-bius.
3.
Hukum penguasaan tanah, yang dalam bius disebut hukum golat.
4.
Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau).
5.
Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah
cadangan untuk persawahan dan pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara
bersama (kolektif) oleh paguyuban.
6.
Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah.
7.
Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta dan
lain-lain.
Bius meliputi
penduduk yang kewargaannya terjamin dengan hak dan kewajiban yang jelas. Hak
kewargaan meliputi dua hak azasi lagi:
1.
Hak atas tanah garapan (disertai kewajibannya).
2.
Hak bebas pindah ke lain daerah/bius, dengan kewajiban mematuhi hukum
Adat Bius.
Kewargaan tadi hanya boleh dicabut atas diri seseorang dengan hukuman terberat dibuang ke luar bius atau dikucilkan melalui pengadilan bius. Hukuman dijatuhkan atas pelanggaran berat, seperti membunuh orang, membakar rumah, berzinah, dlsb. Adat Bius yang demikian, diwariskan oleh Bius Sianjur Mula-mula dan kemudian menjadi hukum di setiap bius lainnya.
Sitor
Situmorang (2009:95-96) mengemukakan bahwa sebelum lahirnya lembaga
Singamangaraja pada abad ke-16, lembaga Pendeta-raja sudah ada di negeri Toba
yang terbagi dalam tiga kerajaan, yaitu:
1.
Kerajaan Ompu Palti Raja, Pendeta-raja yang berpusat di Urat, Samosir
Selatan.
2.
Kerajaan Jonggi Manaor, Pendeta-raja yang berpusat di Limbong, Pusuk
Buhit.
3.
Kerajaan di kalangan Sumba, yaitu kerajaan Sorimangaraja, Pendeta-raja di
Baligeraja, Toba Holbung.
Mitos Pendeta-raja merupakan pangkal tolak proses “kesatuan Toba” sebagaimana akhirnya menjadi klaim lembaga Singamangaraja sejak abad ke-16. Ketiganya merupakan Pendeta-raja, sedang kemudian muncul Dewa-raja, yaitu lembaga Singamangaraja yang menjadi pemersatu di tingkat “nasional” Toba. Singamangaraja bukan parbaringin dan tidak membawahi organisasi parbaringin bius manapun, tetapi organisasi parbaringin di tiap bius manapun di seluruh Toba mengakui kepemimpinan religius dan politik Singamangaraja. Meskipun demikian, parbaringin tidak melepaskan pengakuannya kepada Pendeta-raja di ketiga wilayah masing-masing.
Singamangaraja
dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja
sebagai Dewa-raja, bukan Pendeta-raja. Hubungan federatif dan regional terjalin
di antara bius-bius dan perserikatan regional antar-bius berurusan dengan
lembaga Singamangaraja, sebagai pemersatu Toba, yang berkedudukan di bius
Bakkara. Sebagai pendeta yang mewakili Singamangaraja dalam urusan upacara di
tiap bius, parbaringin tiap bius juga disebut raja na ualu. Sedangkan
pejabat-pejabat sekuler tertinggi disebut raja maropat atau raja na opat (raja
empat serangkai). Dalam pelaksanaan tugas menurut agama Parbaringin, desa na
ualu (jagad raya) berpusat pada Singamangaraja. Sementara dalam konteks bius
sebagai mikrokosmos, parbaringin berkiblat kepada pimpinan bius. Parbaringin
melaksanakan upacara dan upacara terpenting, yaitu: pesta Horja dan pesta Bius.
Adapun peranan parbaringin sentral adalah sebagai pengolah, pemelihara dan
pengembang ugamo; khususnya Pande-Bolon sebagai pendeta utama. Parbaringin
dipandang sebagai teladan ajaran yang berbunyi: Mardebata, Martutur, Marpatik,
Maruhum, Maradat/Marraja.
Lembaga Onan
yang disebut Onan Na Marpatik menjadi sangat penting perannya. Setiap onan
berstatus resmi memiliki toguan yang dilengkapi dengan batu somong. Peresmian
onan sebagai pusat keramat berlangsung dengan upacara “penanaman batu somong”.
Penanaman batu somong adalah ritual khusus dan menjadi wewenang Pendeta-raja
yang kemudian berkembang menjadi wewenang khusus Singamangaraja saja. Ada tiga
onan yang utama, yaitu: Onan Simanggurguri di Limbong-Sagala, Onan Hariara
Maranak di Urat, dan Onan Raja di Baligeraja. Onan Na Marpatik ini adalah pusat
tertua di Toba untuk perdagangan antarwilayah dan dengan dunia luar (pesisir
barat, Barus). Di samping Onan besar yang bersifat regional seperti ketiga onan
tadi, maka masih ada lagi onan lain yang lebih kecil di tiap bius disebut Onan
manogot-nogot atau Onan na metmet. Onan ini biasanya berlangsung hanya selama
dua-tiga jam setiap hari di waktu pagi dan hanya dikunjungi oleh penduduk
setempat.
Onan
Simanggurguri menjadi model semua lembaga Onan besar (Onan Na Marpatik). Hukum
Onan itu meliputi berbagai aspek tertib hukum yang menjamin keamanan dan
kebebasan lalulintas perdagangan antar wilayah serta antara Toba dengan “dunia
luar” termasuk meliputi norma-norma moral sosial. Menurut Sitor Situmorang
(2009:157), bahwa hukum Onan Na Marpatik meliputi hal-hal berikut:
1.
Di tiap Onan (besar) berlaku ukuran atau sukatan yang bersifat standar
(baku) sesuai ketentuan “nasional”. Pelanggaran (penipuan) akan dihukum.
2.
Onan (besar) dilindungi hukum “perdamaian pasar”.
Sehari sebelum dan sesudahnya, setiap pengunjung pasar tidak boleh diganggu oleh siapa pun atau dengan alasan apa pun. Selama tiga hari itu setiap bentuk konflik yang menjurus kepada kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul harus disampaikan kepada pengurus lembaga Onan (besar) (Dewan Raja-Raja Pasar) yang bertindak sebagai “juru damai” (arbitrase). Pihak yang mengabaikannya akan ditindak oleh Dewan Raja-Raja Pasar. Lembaga Onan (besar) adalah lembaga kewilayahan, suprabius, karena memang selalu didirikan atas kesepakatan sejumlah bius bertetangga. Kesepakatan itu berbentuk perjanjian (padan) yang dilakukan di atas (marbulan). Kekuatan semua bius pendiri Onan itulah yang bertindak sebagai “penegak hukum” selaku Dewan Raja-Raja Pasar. Perjanjian itu diperlambangkan oleh Batu Somong yang telah disinggung sebelumnya.
Sehari sebelum dan sesudahnya, setiap pengunjung pasar tidak boleh diganggu oleh siapa pun atau dengan alasan apa pun. Selama tiga hari itu setiap bentuk konflik yang menjurus kepada kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul harus disampaikan kepada pengurus lembaga Onan (besar) (Dewan Raja-Raja Pasar) yang bertindak sebagai “juru damai” (arbitrase). Pihak yang mengabaikannya akan ditindak oleh Dewan Raja-Raja Pasar. Lembaga Onan (besar) adalah lembaga kewilayahan, suprabius, karena memang selalu didirikan atas kesepakatan sejumlah bius bertetangga. Kesepakatan itu berbentuk perjanjian (padan) yang dilakukan di atas (marbulan). Kekuatan semua bius pendiri Onan itulah yang bertindak sebagai “penegak hukum” selaku Dewan Raja-Raja Pasar. Perjanjian itu diperlambangkan oleh Batu Somong yang telah disinggung sebelumnya.
Peranan sosial
lembaga Onan juga nampak dari norma-norma berikut:
1.
Pantang melakukan tagihan piutang pada hari onan. Hutang-piutang harus
diselesaikan di luar hari onan.
2.
Onan sebagai tempat memperoleh “perlindungan” (suaka). Seseorang yang
merasa terancam oleh tindakan di luar hukum, karena suatu perkara memperoleh
perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang berdasarkan “azas praduga tak
bersalah”. Ia dapat lari ke tempat resmi persidangan penguasa pasar (toguan)
mencari perlindungan dan mengajukan persoalannya serta tidak boleh diganggu lagi
oleh si penuntut sampai menanti proses wajar.
3.
Onan juga merupakan tempat ritual kemargaan yang disebut mangebang. Anak
pertama yang baru lahir atau pasangan pengantin baru dapat diperkenalkan kepada
khalayak ramai (mangebang) di Onan. Seorang janda dapat dibawa ke Onan dengan
menyematkan seranting pohon beringin di sanggulnya tanda boleh dipinang kembali
sesuai ketentuan adat (Situmorang, 2009:157-158).
Demikianlah
fungsi Onan sebagai lembaga, sebagai sokoguru tertib hukum Batak-Toba.
Sedemikian pentingnya Onan ini, sehingga peresmiannya merupakan kewenangan
Singamangaraja. Sedang sifat yang dimiliki Singamangaraja (Situmorang, 2009:322)
antara lain:
·
Raja yang tujuh kali suci
·
Raja yang tujuh kali keramat
·
Raja yang menyusun hukum
·
Raja yang menitahkan adat
·
Pemegang sukatan yang benar
·
Pemegang dacin yang tak pernah oleng
·
Penggembala tanpa cambuk
·
Pengusir burung dari sawah tanpa aliali
·
Pembebas ikan yang masuk bubu
·
Pelepas binatang terperangkap
·
Raja yang serba mengetahui
Sifat Singamangaraja di atas memberikan gambaran bagaimana seorang raja dan ini akan menjadi sifat yang diturunkan ke jajaran di bawahnya untuk dianut. Dengan demikian, memberikan gambaran bagaimana nilai-nilai tertinggi yang dianut di dalam sebuah “negara” , yaitu negeri Toba, dan dengan masyarakatnya, yaitu masyarakat Toba. Secara keseluruhan, kita dapat memperoleh gambaran bagaimana masyarakat Toba merupakan masyarakat yang tertata di dalam huta, horja, dan bius di bawah pemerintahan seorang Dewa-raja, yaitu Singamangaraja.
Samosir,
Toba-Holbung, Humbang, dan Silindung merupakan daerah Toba yang ditata dalam
sistim huta, horja, dan bius diikuti dengan adanya nilai anutan, hukum, lembaga
arbitrase, dan lembaga-lembaga lainnya di tingkat bawah dan diikuti suatu sistim
kepercayaan. Gambaran masyarakat yang egaliter dan demokratis seperti ini
demikian teratur dan tertata dalam suasana hidup bersama.
Pengamatan Lance Castle cukup dapat menunjukkan situasi dan ciri kelembagaan masyarakat Toba di pedalaman sebelum masuknya penjajahan. Penggambarannya terasa lebih mendekati kenyataan (Situmorang, 2009:317) sebagai berikut:
Pengamatan Lance Castle cukup dapat menunjukkan situasi dan ciri kelembagaan masyarakat Toba di pedalaman sebelum masuknya penjajahan. Penggambarannya terasa lebih mendekati kenyataan (Situmorang, 2009:317) sebagai berikut:
“Bahwa
masyarakat Batak dilanda oleh kekacauan, tak mengenal hukum dan penuh kekejaman,
seperti yang dikesankan oleh berbagai laporan para misionaris agaknya tak dapat
dipandang sebagai petunjuk tentang keadaan sebelum munculnya gerakan Padri.
Terlepas dari dugaan kanibalisme, kesan Burton dan Ward mengenai Lembah
Silindung menggambarkan suasana damai dan nyaman. Memang terdapat persaingan
yang terus-menerus di kalangan penduduk, demikian pula perkara-perkara yang
mengakibatkan perang. Tetapi, kekejaman akibat perang dibatasi oleh adanya
larangan-larangan (tabu), sedang lembaga-lembaga arbitrasi (adat) selalu terbuka
lebar”.
Kesaksian
misionaris Burton dan Ward dari Inggris, yang merupakan orang Barat pertama yang
masuk ke pedalaman Batak-Toba sebelum perang Padri, pada tahun 1824 (Situmorang,
2009:330-331) memberikan gambaran sebagai berikut:
“ … Jalan
setapak itu akhirnya masuk ke lembah di sela-sela bukit, suara sungai kecil
terdengar. Perhatian kami tertambat pada tamasya riam kecil. Waktu kami
berpaling untuk mengamatinya, maka sepotong dari wilayah Silindung mencuat dari
antara pepohonan. Tak terungkapkan dengan kata-kata kekaguman yang timbul dalam
sanubari kami pada saat kami sampai di lereng bukit, yang memberi pemandangan
lebih luas. Bahkan kuli-kuli pengangkutan barang, begitu melihat tamasya yang
tak diduga-duga ini, seolah terpaku sejenak di tempatnya berdiri, serentak
membanting bebannya ke tanah, lalu mengucapkan kata-kata kagum yang paling
hangat. Hal utama yang paling tampak ialah sebuah daratan, panjang kira-kira 12
mil, lebar 3 mil, terdiri dari persawahan yang luas memanjang tak putus-putus.
Sebuah sungai yang lebar, berkelok-kelok dari ujung ke ujung daratan, lengkap
dengan sejumlah anak sungai penyumbang airnya dan member air ke tali-tali air
buatan untuk keperluan irigasi ke segala penjuru angin, menghiasi daratan.
Tetapi terlebih-lebih banyaknya desa di pinggirnya dan yang bertebaran di sana,
dan ramainya penduduk yang berkumpul di pasar-pusatnya. Begitu juga corak ragam
barang-barang hasil usaha dan kegiatan manusia, memberi pemandangan yang terlalu
mengagumkan hingga tak terucapkan. Dataran dikelilingi oleh rangkaian bukit,
tingginya antara 500 sampai 1.000 kaki, semuanya dalam keadaan terpelihara.
Seluruh daerah sekelilingnya bebas hutan, kecuali puncak beberapa gunung tinggi,
yang kata orang didiami oleh ular-ular naga dan roh-roh jahat. Di sini kami
beristirahat sebentar merundingkan rencana selanjutnya sebelum turun memasuki
lembah, sambil melepaskan tembakan-tembakan bedil, sebagai pertanda dan salam
memberitahukan kedatangan kami sebagai tamu”.
Selama dua
minggu Burton dan Ward di Silindung di tengah-tengah masyarakat di sana yang
disambut oleh raja-raja Batak dengan tortor. Burton dan Ward menulis memoar dan
menceritakan bahwa orang Batak Toba merupakan masyarakat yang ramah-tamah.
Meskipun kemudian maksud Burton dan Ward untuk menjadikan mereka Kristen
ditolak, sewaktu rombongan kecil itu hendak kembali ke Sibolga, raja-raja dan
rakyat Silindung menjamu mereka secara adat. Sekitar 7.000 orang hadir dalam
acara pesta makan secara adat itu (Sihombing, 1961:9-11).
Demikianlah
gambaran masyarakat Batak Toba di masa lalu sebelum datangnya Padri
meluluh-lantakkan negeri makmur yang aman-tenteram itu dan sebelum datangnya
para misionaris RMG dari Jerman serta penjajah Belanda. Tergambar kepada kita
bagaimana masyarakat Toba sebelum mengalami pengalaman traumatis akibat kejamnya
perang Padri dan perang Toba melawan Belanda serta tekanan penjajahan Belanda.
Itu masyarakat Toba dengan sistim huta-horja-bius dan lembaga-lembaga lainnya.
***
Tulisan ini
telah dimuat di:
Koran BATAK
POS,
Edisi 04 & 11 Agustus 2012 dan 01 September 2012
Edisi 04 & 11 Agustus 2012 dan 01 September 2012
Posting Komentar